Isra Mi’raj merupakan dua bagian dari perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad SAW. dalam
waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi
umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Sallam mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari
semalam.
Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di
Makkah sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah.
Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama
sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri,
Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang
populer.
Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam 2 peristiwa yang
berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
“diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu
dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha
yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari
Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan
peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan
tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti
ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal
yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Peristiwa tersebut hanya dianugerahkan Allah kepada
baginda, Nabi Besar Muhammad saw. Tentunya dalam perjalanan itu banyak sekali
pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik.
Jika dalam perjalanan keluar kota saja kita dapat
memetik banyak pelajaran, bagaimana kiranya dalam perjalanan menjelajah alam
semesta yang tujuan utamanya adalah untuk bertemu dengan Allah?
BERIKUT
INILAH RINGKASAAN SEJARAH KISAH ISRA MI'RAJ NABI MUHAMMAD SAW :
Pada suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir
Ismail dekat Ka'bah al Musyarrofah, saat itu beliau berbaring diantara paman
beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Jakfar bin Abi Thalib,
tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawa
beliau ke arah sumur zamzam, setibanya di sana kemudian mereka merebahkan tubuh
Rasulullah yang kemudian Jibril as membelah dada beliau yang mulya sampai di
bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail:
"Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam
agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya".
Pembedahan menjelang Isra ini merupakan pembedahan
keempat kalinya; yang pertama ketika beliau masih menyusu pada Siti Halimah
Sa’diyah, yang kedua ketika usia baligh, yang ketiga ketika diangkat menjadi
utusan (rasul), dan keempat ketika akan diisrakan.
Kemudian Jibril AS mengeluarkan hati beliau yang mulya
lalu menyucinya tiga kali, kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi
hikmah dan keimanan, kemudian dituangkan ke dalam hati beliau, maka penuhlah
hati itu dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah,
lalu ditutup kembali oleh Jibril AS.
Dan perlu diketahui bahwa penyucian ini bukan berarti
hati Nabi kotor, tidak, justru Nabi sudah diciptakan oleh Allah dengan hati
yang paling suci dan mulya, hal ini tidak lain untuk menambah kebersihan diatas
kebersihan, kesucian diatas kesucian, dan untuk lebih memantapkan dan
menguatkan hati beliau, karena akan melakukan suatu perjalanan maha dahsyat dan
penuh hikmah serta sebagai kesiapan untuk berjumpa dengan Allah SWT. Habib Ali
bin Muhammad al-Habsyi mengatakan di dalam kitab Simtudduror:
Mereka membaringkannya dengan hati-hati
Lalu membelah dadanya dengan lemah lembut
Dan mengeluarkan apa yang mereka keluarkan
Lalu menyimpankan rahasia ilmu dan hikmah ke dalamnya
“Tiada suatu kotoran menganggu yang dikeluarkan
malaikat dari hatinya,
Tapi mereka hanya menambahkan Kesucian di atas
kesucian…”
Dalam syarahannya mengenai hadis Isra dan Mi’raj pada
kitab At-Taajul Jaami’lil ushuul fi ahaadiitsir rasuul, Syeikh Manshur Ali
Nashif menulis: Sesudah itu mereka (para malaikat) mendatangkan kepada
Rasululah seekor hewan putih lebih kecil dari baghal tetapi lebih besar dari
keledai, yaitu hewan buraq.
Buroq tersebut dahulunya sering dinaiki oleh para nabi
sebelum Nabi Muhammad saw. Buroq adalah hewan yang besarnya lebih tinggi dari
keledai tetapi lebih rendah dari baghal; warna kulitnya putih dan mempunyai dua
sayap yang ada di sebelah kanan dan kirinya.
Sekali lompat dapat mencapai sejauh matanya memandang;
apabila turun kedua kaki depannya memanjang, dan apabila naik kedua kaki
belakangnya memanjang, sehingga punggungnya tetap stabil. Nabi saw menaikinya
lalu terbang dengan diiringi oleh Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.
Mereka terus melaju, mengarungi alam ciptaan Allah SWT
yang penuh keajaiban dan hikmah dengan Inayah dan Rahmat-Nya.
Saudaraku, jika kita perhatikan dengan baik Isra
Mi’raj Nabi Muhammad saw, maka tampaklah sebuah kenyataan bahwa perjalanan itu
merupakan perjalanan menuju tempat-tempat yang berkah, menemui manusia-manusia
yang berkah dan kemudian bertemu dengan sumber segala keberkahan, yaitu Allah
yang Maha Kuasa. Secara jelas Allah mewahyukan:
Allah berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْـرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْــجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْـجِدِ الأَقْصى الَّــذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ
مِنْ آيَاتِنَا ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ .
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami BERKAHI
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(Al-Isra, 17:1)
Nabi saw berangkat dari Mekah, kota yang penuh berkah,
menuju Masjidil Aqsha yang penuh berkah dan sebelumnya juga singgah di
tempat-tempat yang berkah. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Nasa’i, Rasulullah saw bersabda:
“Aku diberi seekor hewan yang lebih tinggi dari
keledai dan lebih rendah dari baghal. Langkah hewan itu sejauh pandangannya.
Aku menungganginya, dan Jibril Alaihissalam mendampingiku. Aku pun pergi. Di
sebuah tempat Jibril berkata, “Turunlah, shalatlah di sini.” Aku pun turun dan
shalat. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat?”
Engkau tadi shalat di Thaibah (Madinah), di sanalah tempat hijrahmu.” (Setelah
melanjutkan perjalanan) Jibril berkata, “Turunlah di sini dan shalatlah.” Aku
pun melaksanakan permintaannya. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana
engkau tadi shalat? Engkau shalat di Thursina, di mana Allah ‘Azza wa Jalla
berbicara kepada Musa ‘Alaihissalam.” (Setelah melanjutkan perjalanan) Jibril
berkata, “Turunlah di sini dan shalatlah.” Aku pun turun dan shalat. Setelah
itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat? Engkau shalat di
Bethlehem, tempat kelahiran Isa Alaihissalam.” Setelah itu aku memasuki Baitul
Maqdis, di sana semua Nabi ‘Alaihissalam dikumpulkan untuk (bertemu dengan)ku. Jibril
kemudian membawaku ke depan (untuk menjadi imam). Aku pun lalu mengimami
mereka…” (HR Nasa’i)
Coba anda perhatikan, ternyata Nabi saw diajak untuk
singgah di tempat-tempat yang penuh berkah. Beliau saw singgah di Madinah, dan
shalat di sana, singgah di bukit Thursina, tempat di mana Nabi Musa as diangkat
menjadi Rasul, dan beliau shalat di sana. Kemudian beliau singgah di Bethlehem,
tempat kelahiran Nabi Isa as, dan shalat di sana. Perjalanan ini berawal dari
Makkah di mana terdapat Kabah yang DIBERKAHI dan merupakan pusat ibadah umat
islam.
Ia merupakan rumah pertama yang dibangun di muka bumi.
Usia kabah setara dengan usia bumi ini. Allah mewahyukan:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk
(tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang
DIBERKAHI dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Ali Imran, 3:96)
Siapapun yang berkunjung ke sana akan mendapatkan
banyak manfaat, ia akan bertemu manusia dari segala bangsa, mendapat percikan
cahaya iman mereka, dapat pula memperoleh keuntungan duniawi, memberikan rasa
aman (3:97), dan pahala ibadah yang kita lakukan di sekitar kabah berlipat
ganda dibandingkan di tempat lain.
Persinggahan Isra’ Rasulullah diantaranya adalah
Thaibah yakni Kota Madinah yang memiliki banyak keberkahan. Kota inilah
pelabuhan hijrah Nabi Muhammad saw beserta para sahabat. Dari kota inilah
cahaya Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dari sekian banyak keberkahan,
keberkahan terbesar Madinah adalah bersemayamnya Nabi Muhammad saw di sana.
Tidak ada tanah yang lebih mulia dari tanah yang di
dalamnya terdapat tubuh manusai yang paling bertakwa, yang paling mulia, yang
paling dicintai Allah yaitu baginda Rasulullah saw. Ingatkah Anda ketika pemuda
Anshar kurang puas dengan pembagian hasil perang, di mana Nabi saw lebih banyak
memberi warga Mekah yang baru memeluk Islam untuk menarik hati mereka?
Apa sabda Nabi saw kepada Anshar, warga Madinah, coba
Anda simak:
“Tidak senangkah kalian, jika mereka pulang ke
rumahnya membawa harta rampasan perang, sedangkan kalian pulang membawa
Rasulullah saw ke rumah-rumah kalian? Andaikata kaum anshar melewati sebuah
lembah atau lereng, maka aku akan melewati lembah atau lereng yang dilewati
Anshar.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam kesempatan lain baginda Muhammad saw bersabda:
“Barangsiapa mampu untuk meninggal dunia di kota Madinah, maka hendaknya dia lakukan hal itu, sebab aku akan memberikan syafaat kepada orang yang meninggal di Madinah. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
“Barangsiapa mampu untuk meninggal dunia di kota Madinah, maka hendaknya dia lakukan hal itu, sebab aku akan memberikan syafaat kepada orang yang meninggal di Madinah. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Karena itulah para ulama dan segenap umat Islam dari
zaman ke zaman memuliakan kota Madinah dan mengharapkan keberkahannya. Imam
Syafi’i bercerita: Didepan pintu rumah Imam Malik kulihat tertambat seekor kuda
Mesir yang sangat indah. Aku belum pernah melihat kuda sebaik itu. “Betapa
indah kuda itu,” ucapku kepada beliau. “Wahai Abu Abdillah, kuhadiahkan kuda
itu kepadamu.”
“Simpanlah seekor hewan sebagai tungganganmu,” ujarku.
“Aku malu kepada Allah untuk menginjak tanah yang di
dalamnya terdapat Nabi Muhammad saw dengan kaki hewan tungganganku,” jawab imam
Malik ra.
Kemudian beliau saw singgah di bukit Thursina ini yang
mana keberkahannya tertulis di dalam Al Quran, Allah mewahyukan:
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu,
diserulah dia dari (arah) pinggir LEMBAH YANG DIBERKAHI, dari sebatang pohon
kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.”
(Al-Qashash, 28: 30)
Kemudian persinggahan Isra berikutny adalah Bethlehem
tempat dimana Nabiyallah Isa as dilahirkan. Dimana pun Nabi Isa as berada,
senantiasa membawa keberkahan bagi penduduk sekitarnya. Nabi Isa sendiri telah
menyatakan bahwa diri beliau diberkati, Allah mewahyukan:
“Dan DIA menjadikan Aku seorang yang DIBERKATI di mana
pun aku berada.” (Maryam, 19:31)
Ketika menjelaskan ayat ini, Syeikh Abdulqadir
Al-Jailani ra berkata: Di antara keberkahan Nabi Isa as adalah berbuahnya pohon
kurma untuk ibu beliau Ash-Shiddiqiyyah Maryam as. Kemudian, munculnya air dari
bawah pohon kurma itu. Kejadian ini tiada lain adalah di Bethlehem tempat di
mana Nabi Isa as dilahirkan.
Allah Azza Wa jalla mewahyukan:
Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah:
“Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak
sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya
pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum
dan bersenang hatilah kamu.” (Maryam, 19:24-26)
Setelah singgah di tempat-tempat yang berkah, barulah
Nabi saw berangkat menuju Masjidil Aqsha yang disekelilingnya diberkati Allah.
Para ulama menjelaskan bahwa daerah sekitar masjidil
Aqsha dikatakan berkah karena dua hal, pertama adalah karena tanahnya subur dan
kaya akan hasil bumi. Kedua, karena begitu banyak Nabi dan orang-orang saleh
yang dimakamkan di sana.
Saudaraku, kita semua tahu, bahwa inti Isra Mi’raj
adalah pertemuan Nabi Muhammad dengan Allah. Pertanyaannya, mengapa sebelum
pertemuan itu Allah memerintahkan Nabi saw untuk singgah di tempat-tempat yang
bersejarah tersebut? Semua itu tiada lain adalah sebuah bentuk
pembelajaran.
Allah ingin memberitahukan kepada kita bahwa napak
tilas para Nabi, rasul dan kaum sholihin adalah tempat-tempat yang mulia, kita
tidak boleh melupakannya begitu saja. Di sana terdapat banyak keberkahan yang
dapat kita peroleh. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam Isra
Mi’raj di atas, maka seyogyanya kita juga melakukan perjalanan ibadah ke
tempat-tempat bersejarah Islam, napak tilas para Nabi dan kaum sholihin. Semoga
sunnah Nabi saw ini dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau SAW dengan
ditemani Jibril dan Mikail, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau
temui dalam perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis
(Masjid al Aqsho). Beliau turun dari Buraq lalu mengikatnya pada salah satu
sisi pintu masjid, yakni tempat dimana biasanya Para Nabi mengikat buraq di
sana.
Kemudian beliau masuk ke dalam masjid bersama Jibril
AS, masing-masing sholat dua rakaat. Setelah itu sekejab mata tiba-tiba masjid
sudah penuh dengan sekelompok manusia, ternyata mereka adalah para Nabi yang
diutus oleh Allah SWT.
Diantara jamaah para nabi tersebut Nabi saw melihat
Nabi Musa as sedang shalat, yang ternyata ia berbadan kurus dan berambut
keriting, seakan-akan seseorang dari kalangan Bani Syanu’ah. Beliau pun melihat
Nabi Isa Ibnu Maryam as sedang shalat, orang yang paling mirip dengannya ialah
‘Urwah ibnu Mas’ud Ats-Tsaqafi.
Beliau juga melihat Nabi Ibrahim as sedang shalat dan
orang yang paling mirip dengannya ialah beliau sendiri. Kemudian dikumandangkan
adzan dan iqamah, lantas mereka berdiri bershof-shof menunggu siapakah yang
akan mengimami mereka, kemudian Jibril AS memegang tangan Rasulullah SAW lalu
menyuruh beliau untuk maju, kemudian mereka semua sholat dua rakaat dengan
Rasulullah sebagai imam. Hal ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad saw lebih
utama dan lebih mulia daripada mereka di sisi Allah. Beliaulah Imam (Pemimpin)
para Anbiya' dan Mursalin. Ketika beliau saw selesai dari shalat, tiba-tiba ada
seseorang mengatakan, “Hai Muhammad, ini adalah Malaikat malik penjaga pintu
neraka, ucapkanlah salam kepadanya”. Aku menoleh dan ternyata dialah yang
memulai bersalam kepadaku.
Kemudian setelah beliau menyempurnakan segalanya, --
Syeikh Manshur menjelaskan – lalu dipasang untuk beliau Mi’raj, yaitu berupa
tangga yang memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan jumlah lapisan langit.
Barangsiapa yang menaiki satu derajat dari Mi’raj itu, maka Mi’raj akan membawanya
naik ke tingkatan yang selanjutnya lebih cepat dari sekejap mata sampai
akhirnya beliau SAW berjumpa dengan Allah dan berbicara dengan Nya, yang
intinya adalah beliau dan umat ini mendapat perintah sholat lima waktu.
Sungguh merupakan nikmat dan anugerah yang luar biasa
bagi umat ini, di mana Allah SWT memanggil Nabi-Nya secara langsung untuk
memberikan dan menentukan perintah ibadah yang sangat mulya ini. Cukup kiranya
hal ini sebagai kemulyaan ibadah sholat. Sebab ibadah lainnya diperintah hanya
dengan turunnya wahyu kepada beliau, namun tidak dengan ibadah sholat, Allah
memanggil Hamba yang paling dicintainya yakni Nabi Muhammad SAW ke hadirat Nya
untuk menerima perintah ini.
Ketika beliau dan Jibril sampai di depan pintu langit
dunia (langit pertama), ternyata disana berdiri malaikat yang bernama Ismail,
malaikat ini tidak pernah naik ke langit atasnya dan tidak pernah pula turun ke
bumi kecuali disaat wafatnya Rasulullah SAW, dia memimpin 70 ribu tentara dari
malaikat, yang masing-masing malaikat ini membawahi 70 ribu malaikat
pula.
Jibril meminta izin agar pintu langit pertama dibuka,
maka malaikat yang menjaga bertanya:
"Siapakah ini?"
Jibril menjawab: "Aku Jibril."
Malaikat itu bertanya lagi: "Siapakah yang
bersamamu?"
Jibril menjawab: "Muhammad saw."
Malaikat bertanya lagi: "Apakah beliau telah
diutus (diperintah)?"
Jibril menjawab: "Benar".
Setelah mengetahui kedatangan Rasulullah malaikat yang
bermukim disana menyambut dan memuji beliau dengan berkata:
"Selamat datang, semoga keselamatan menyertai
anda wahai saudara dan pemimpin, andalah sebaik-baik saudara dan pemimpin serta
paling utamanya makhluk yang datang".
Fahamlah kita dari ucapan ini, tidak ada satupun
makhluk yang lebih mulia menginjak langit pertama melebihi Sayyidina Muahmmad
shallallahu 'alaihi wasallam
Maka dibukalah pintu langit dunia ini".
Setelah memasukinya beliau bertemu Nabi Adam dengan
bentuk dan postur sebagaimana pertama kali Allah menciptakannya. Nabi saw
bersalam kepadanya, Nabi Adam menjawab salam beliau seraya berkata:
"Selamat datang wahai anakku yang sholeh dan nabi
yang sholeh".
Di kedua sisi Nabi Adam terdapat dua kelompok, jika
melihat ke arah kanannya, beliau tersenyum dan berseri-seri, tapi jika
memandang kelompok di sebelah kirinya, beliau menangis dan bersedih.
Kemudian Jibril AS menjelaskan kepada Rasulullah,
bahwa kelompok disebelah kanan Nabi Adam adalah anak cucunya yang bakal menjadi
penghuni surga sedang yang di kirinya adalah calon penghuni neraka.
Kemudian beliau naik ke langit kedua, seperti
sebelumnya malaikat penjaga bertanya seperti pertanyaan di langit
pertama.
Akhirnya disambut kedatangan beliau SAW dan Jibril AS
seperti sambutan sebelumnya. Di langit ini beliau berjumpa Nabi Isa bin Maryam
dan Nabi Yahya bin Zakariya, keduanya hampir serupa baju dan gaya rambutnya.
Nabi saw menyifati Nabi Isa bahwa dia berpostur
sedang, putih kemerah-merahan warna kulitnya, rambutnya lepas terurai
seakan-akan baru keluar dari hammam, karena kebersihan tubuhnya.
Nabi bersalam kepada keduanya, dan dijawab salam
beliau disertai sambutan: "Selamat datang wahai saudaraku yang sholeh dan
nabi yang sholeh".
Kemudian tiba saatnya beliau melanjutkan ke langit
ketiga, setelah disambut baik oleh para malaikat, beliau berjumpa dengan Nabi
Yusuf bin Ya'kub. Beliau bersalam kepadanya dan dibalas dengan salam yang sama
seperti salamnya Nabi Isa.
Nabi berkomentar: "Sungguh dia telah diberikan
separuh ketampanan". Dalam riwayat lain, beliau bersabda: "Dialah
paling indahnya manusia yang diciptakan Allah, dia telah mengungguli ketampanan
manusia lain ibarat cahaya bulan purnama mengalahkan cahaya seluruh
bintang".
Ketika tiba di langit keempat, beliau berjumpa Nabi
Idris AS. Kembali beliau mendapat jawaban salam dan doa yang sama seperti
Nabi-Nabi sebelumnya.
Di langit kelima, beliau berjumpa Nabi Harun bin
‘Imran AS, separuh janggutnya hitam dan seperuhnya lagi putih (karena uban),
lebat dan panjang.
Pada tahapan langit keenam inilah beliau berjumpa
dengan Nabi Musa AS, seorang nabi dengan postur tubuh tinggi, putih
kemerah-merahan kulit beliau. Nabi saw bersalam kepadanya dan dijawab oleh
beliau disertai dengan doa. Setelah itu Nabi Musa berkata: "Manusia
mengaku bahwa aku adalah paling mulyanya manusia di sisi Allah, padahal dia
(Rasulullah saw) lebih mulya di sisi Allah daripada aku".
Setelah Rasulullah melewati Nabi Musa, beliau
menangis. Kemudian ditanya akan hal tersebut. Beliau menjawab: "Aku
menangis karena seorang pemuda yang diutus jauh setelah aku, tapi umatnya lebih
banyak masuk surga daripada umatku".
Kemudian Rasulullah saw memasuki langit ketujuh, di
sana beliau berjumpa Nabi Ibrahim AS sedang duduk di atas kursi dari emas di
sisi pintu surga sambil menyandarkan punggungnya pada Baitul Makmur.
Setelah Rasulullah bersalam dan dijawab dengan salam
dan doa serta sambutan yang baik, Nabi Ibrahim berpesan: "Perintahkanlah
umatmu untuk banyak menanam tanaman surga, sungguh tanah surga sangat baik dan
sangat luas". Rasulullah bertanya: "Apakah tanaman surga itu?",
Nabi Ibrahim menjawab: "(Dzikir) Laa haula wa laa quwwata illa billahil
‘aliyyil ‘adziim".
Dalam riwayat lain beliau berkata:
"Sampaikan salamku kepada umatmu, beritakanlah
kepada mereka bahwa surga sungguh sangat indah tanahnya, tawar airnya dan
tanaman surgawi adalah Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaaha illallah
wallahu akbar".
Lantas Rasul berkata setelah itu aku di naikkan ke
Baitul Ma’mur yang tempatnya tepat berada diatas Ka’bah, lantas aku berkata
pada Jibril, “apa ini wahai Jibril?” Jibril berkata :
“ini Baitul Ma’mur, 70 ribu malaikat shalat setiap
harinya dan keluar dari Baitul Ma’mur 70 ribu dan tidak pernah kembali lagi
terus keluar 70 ribu tepat diatas ka’bah al Musyarrafah tempatnya”
Hadirin hadirat lantas Rasul saw dinaikan lagi sampai
mendengar lauhul mahfud (ketentuan takdir) sampai ia mendengar yaitu
keputusan-keputusan Allah swt lantas setelah itu diperintah untuk menghadap
langsung kepada Allah swt, Jibril berhenti tidak meneruskan menemani lagi,
karena dalam riwayat yang lainya Jibril berkata: “aku tidak mampu terus
menghadap kepada Allah karena tidak diizinkan untuk menghadap, hanya engkau
yang diizinkan untuk menghadap, kalau aku naik aku akan hancur terbakar dengan
cahaya hijab, dari hijabnya Allah swt, cahaya dari 70 ribu tabir cahaya yang
menutupi makhluk dengan Al Khaliq, jika sampai aku ke hijab itu aku akan
terbakar” kata Jibril.
70 ribu tabir terbuka untuk Sayyidina Muhammad saw,
saat itulah beliau berjumpa dengan Allah subhanahu wata'ala, dan Allah
subhanahu wata'ala telah berfirman :
“Saat itu sangat dekat dia dengan Allah subhanahu
wata'ala” (QS Annajm 8-9)
Diantara sekian banyak rahasia didalam mi’raj
diantaranya adalah ucapan para penyair bahwa ketika Nabi Musa a.s menghadap
Allah Swt di Bukit Tursina, maka disaat itu diperintahkan kepada Musa:
“lepas kedua sandal mu wahai Musa kau berada di lembah
yang suci” (QS Thaahaa 12)
Maka disaat Rasulullah saw Mi’raj naik ke hadhratullah
tidak diperintah membuka kedua sandalnya, maka berkata para penyair dalam
syairnya manakah yang lebih mulia sandal atau Jibril as, jibril tidak bisa naik
kehadhratullah tapi sandalnya Rasulullah naik ke hadhratullah swt, tentu jibril
as lebih mulia dari sandal, sandal hanya terbuat dari kulit kambing tapi karena
sandal terikat dengan kaki Sayyidina Muhammad saw walaupun terbuat dari kulit
kambing karena terikat dengan kaki Rasulullah saw, demikian pakaian Rasulullah
saw naik ke hadirat Allah swt, tidak diperintah membuka kedua sandalnya sebagai
tanda bahwa orang-orang yang terikat hatinya dengan Rasulullah saw sangat dekat
dengan Allah swt, Allah tidak perintahkan semua yang bersama Rasul untuk
berpisah, bahkan sandalnya pun tidak diperintahkan dibuka menunjukkan lebih
lagi hatinya yang terikat cinta pada Sayyidina Muhammad saw, mereka mendapatkan
rahasia kemuliaan isra’ wal mi’raj, seluruh ummat beliau buktinya, saat kita
shalat kita mengulang kembali kalimat percakapan Allah dengan Nabi Muhammad
saw: yaitu : attahiyyatul Mubaarakaatu….dst.
Kalimat itu kalimat percakapan antara Allah dan Nabi
Muhammad saw, kau ucapkan didalam shalat, setiap shalat kita mengucapkannya,
rahasia kemuliyaan isra’ wal mi’raj tumpah pada kita 5 kali setiap harinya,
ingin lebih lakukan lagi, ada shalat dhuha, ada shalat witir, ada shalat
tahajjud, ada shalat shalat lainnya.
Diriwayatkah didalam Assyifa oleh Hujjatul Islam Al
Qadhi’iyad rah. bahwa di saat itu Rasul shallallahu 'alaihi wasallam
menceritakan :
“Saat aku naik menuju Mi’raj aku melihat dilangit itu
para malaikat gemuruh dengan dzikir dan tasbih dan warna dan bentuk yang belum
pernah aku lihat di permukaan bumi ada warna seperti itu dan bentuk seperti itu
dan kulihat hamparan surga itu bentangan tanahnya adalah Misk yang di
keringkan, minyak wangi yang mengering dari indahnya di campur dengan berlian
dan juga mutiara dan kemudian aku sampai ketika menembus Muntahal khalai’iq
(batas akhir seluruh Makhluk) tidak lagi kudengar satu suarapun, sepi dan
senyap, tidak ada lagi bentuk dan warna warni dan saat itu akupun mendengar
satu suara:
“mendekat mendekat wahai Muhammad, tenangkan dirimu
dari ketakutanmu wahai Muhammad”
maka beliau pun bersujud lalu berkata: Attahiyyatul
Mubaarakaatusshalawaatutthayyibaatu lillah“
(Rahasia keluhuran, kebahagiaan, kemuliaan,
keberkahan, milik Allah dan untuk Allah subhanahu wata'ala)
Maka aku mendengar jawaban ucapan Rasul : Assalaamu
alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh”, (Salam sejahtera wahai Nabi
dan Rahmatnya Allah, dan keberkahannya)
Maka aku menjawab : “Assalaamu alaina, wa alaa
ibaadillahisshaalihiin” (Salam sejahtera bagi kami (yaitu aku dan ummatku), dan
hamba hamba yg shalih (yaitu para nabi dan malaikat)
Beliau tidak mau mengambil rahasia salam sejahtera
dari Allah sendiri, tapi ingin menyertakan Ummat Beliau shallallahu 'alaihi
wasallam dengan ucapan :
“salam sejahtera untuk kami dan para hamba Allah yang
Shaleh yaitu para malaikat dan para Rasul dan Nabi”
Demikian sebagian ulama menjelaskan.
Saudaraku, maka di wajibkannya 50 waktu shalat, lantas
beliau turun berjumpa dengan Nabiyallah Musa As,
“apa yang dikatakan Tuhanmu?”
“aku di berikan hadiah untuk membawa shalat 50 waktu”
“baliklah..!, bani Israil tidak mampu melakukan 50
waktu apalagi ummatmu, Ummatmu lebih pendek usianya, lebih lemah, lebih tidak
berdaya, balik lagi minta kekurangan”
Maka Rasulullah saw kembali, ketika meminta kekurangan
seraya berkata :
“Wahai Allah sungguh Ummatku sudah sangat lemah
dibanding ummat-ummat sebelumnya” Maka Allah subhanahu wata'ala menguranginya
10 menjadi 40 waktu,
Dia turun pada Nabiyallah Musa, Musa a.s berkata :
“apa yang kau dapat, di kurangi berapa?”
Rasul saw menjawab : “sepuluh”
“kembalilah lagi, 40 waktu tidak mampu ummatmu, minta
dikurangi lagi, minta keringanan”
Maka Nabi saw balik lagi pada Allah, dikurangkan lagi
10 hingga demikian sampai 5 waktu yaitu beliau bulak balik demi minta
keringanan.
Didalam salah satu riwayat Nabiyallah Musa a.s itu
ketika beliau a.s mendengar firman Allah Swt di bukit Tursina, setelahnya ia
turun dari bukit tersebut sambil menutup telingannya dari semua suara benda dan
hewan karena ia tidak tahan mendengar buruknya suara benda dan hewan karena ia
telah mendengar suara yang sangat begitu lembut dan indah mewakili firmannya
Allah Swt hingga ia tidak kuat mendengar suara air, suara burung, suara
manusia, suara hewan yang semuanya menyakiti telinga Musa a.s. Hal itu terjadi
pada Nabiyallah Musa a.s di dunia. cahaya terang pun terlihat diwajah
Nabiyallah Musa yang dilihat oleh istri dan anak-anaknya hingga mereka berkata,
“Demikian terang benderang wajahmu.” Nabiyallah Musa As berkata : “Aku tadi
mendapat firman Allah Swt.” maka ketika di malam isra’ wal mi’raj Nabi Musa a.s
melihat wajah Rasulullah Saw sesaat setelah kembali dari hadapan Allah Swt dengan
wajah yang terang benderang bias dari cahaya Rabbul’alamin swt, Nabiyallah Musa
a.s bahkan mencari alasan supaya Muhammad kembali lagi ke atas supaya bisa
balik lagi, jumpa lagi, melihat lagi cahaya keindahan Allah, wajah Beliau
bagaikan cermin yang mencerminkan cahaya keagungan Ilahi, balik lagi keatas,
balik lagi hingga berkali kali Nabi Musa a. bisa menikmati bias dari cahaya
keindahan Rabbul’alamin yang terlihat di wajah Sayyidina Muhammad Saw dan
setelah itu Nabiyallah Musa pun ketika Rasul berkata :
“sudah cukup 5 waktu tadi sudah di beri pahala 50
waktu oleh Allah subhanahu wata'ala”
”Kembali lagi”
Rasul berkata : “aku sudah malu, karna Allah Swt sudah
berfirman : “ Aku sudah lewatkan dan sudah jalankan fardhu Ku untuk hamba-hamba
Ku”(Shahih Bukhari)
Yaitu Allah Swt telah menentukannya dan tidak lagi
merubahnya 5 waktu, Allah Maha tahu shalat itu 5 waktu bukan 50 waktu, namun
Allah ingin memberi isyarat kepada sang Nabi dan kepada ummat beliau yaitu kita
berapa besarnya rindu kita kepada Allah Swt, berapa besarnya rindu Allah pada
kita, Allah meminta 50 kali kita menghadap, kita 5 kali saja ada yang masih
malas dan keberatan, berapa cinta Allah kepada kita, berapa cinta kita kepada
Allah, Allah minta 50 kali, karena kita lemah kita diberi 5 kali tapi sama
dengan 50 waktu seakan akan 50 kali menghadap Allah, inilah cinta nya
Rabbul’alamin kepada hamba-Nya.
Rasul saw kembali membawakan kepada kita hadiah
Ilahiyah berupa 5 waktu yang mulya, 5 waktu suci untuk menghadap Ilahi, jiwa
dengan jiwa, ruh dengan ruh.
Walaupun jasad kita di bumi tapi ruh dan jiwa kita dan
sanubari kita saat mulai takbiratul ihram hingga salam saat itu terbuka hijab
antara hamba dengan Allah swt, sebagaimana hadits Rasul saw: “Barang siapa yang
melakukan shalat sungguh ia sedang berbicara dan bercakap cakap dan menghadap
Allah subhanahu wata'ala
Mendapat
Mandat Shalat 5 waktu
Agaknya yang lebih wajar untuk dipertanyakan, bukannya
bagaimana Isra’ Mi’raj, tetapi mengapa Isra’ Mi’raj terjadi? Jawaban pertanyaan
ini sebagaimana kita lihat pada ayat 78 surat al-lsra’, Mi’raj itu untuk
menerima mandat melaksanakan shalat Lima waktu. Jadi, shalat inilah yang
menjadi inti peristiwa Isra’Mi’raj tersebut.
Shalat merupakan media untuk mencapai kesalehan antara
seorang hamba dengan Allah. Shalat juga menjadi sarana untuk menjadi
keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab, dan penuh kedamaian.
Makanya tidak berlebihan apabila Alexis Carrel menyatakan : “Apabila
pengabdian, sholat dan do’a yang tulus kepada Sang Maha pencipta disingkirkan
dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu berarti kita telah menandatangani
kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut“. Perlu diketahui bahwa A. Carrel
bukanlah orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama, tetapi dia adalah
seorang dokter dan pakar Humaniora yang telah dua kali menerima nobel atas
hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja dan pencangkokannya. Tanpa
pendapat Carrel pun, Al–Qur’an 15 abad yang lalu telah menyatakan bahwa shalat
yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar,
sehingga tercipta tatanan masyarakat yang harmonis, egaliter, dan beretika.
Hikmah
Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW
Perintah sholat dalam perjalanan isra dan mi’raj Nabi
Muhammad SAW, kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki
keistimewaan tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga,
dalam konteks spiritual-imaniah maupun perspektif rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj
merupakan kajian yang tak kunjung kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan
umat beragama (Islam).
Bersandar pada alasan inilah, Imam Al-Qusyairi yang
lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang berjudul asli ‘Kitab al-Mikraj’ ini,
berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif seputar kisah dan hikmah dari
perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, beserta telaahnya. Dengan
menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadits shahih,
Imam al-Qusyairi dengan cukup gamblang menuturkan peristiwa fenomenal yang
dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku ini juga mencoba mengajak pembaca
untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah sakral Rasulullah SAW,
serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini, termasuk mengenai mengapa
mikraj di malam hari? Mengapa harus menembus langit? Apakah Allah berada di
atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami orang lain? Ataukah ia
semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita teladani?
Bagaimana dengan mikraj para Nabi yang lain dan para
wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai muslim? Serta apa hikmahnya bagi
kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam buku ini.
Dalam pengertiannya, Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan
suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Sehingga peristiwa
ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik dari
kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of
Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah dikutip
Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan
terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan
Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik
dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662
M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang
menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj
menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta
(al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan
kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan
meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal
tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari
peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT.
Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush
shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan
hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan
nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak
mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari ungkapan bersejarah inilah
kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad
Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah
SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang di jalankan
umat islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat adalah mi’raj-nya orang-orang
beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada beberapa urutan dalam
perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang
disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran yang berbuah balasan
dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah shalat. Dan ketiga,
shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan
merebut kemenangan. Ketiga hal diatas telah terangkum dengan sangat indah dalam
salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Mengacu pada berbagai aspek diatas, buku setebal 178
halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain memberikan bingkai yang
cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ mikraj Nabi saw, tetapi juga memuat
mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali. Kemudian kelebihan lain
dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah Mikrajnya Abu Yazid
al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini merupakan rujukan bagi kondisi,
kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah.
Ia menggambarkan rambu-rambu jalan menuju Allah,
kejujuran dan ketulusan niat menempuh perjalanan spiritual, serta keharusan
melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah. Maka, sampai pada satu
kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah menjadi permulaan dari sejarah kaum
Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas
kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba
menuju kesempurnaan ruhani.
Peristiwa
Isra’ Mi’raj sangat fenomenal dari segi sejarah,
Karena sebelumnya tak pernah terjadi pada manusia.
Sebelum Nabi Muhammad memang pernah terjadi pada benda. Benda tersebut bisa
berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang jauh dalam orde sepersekian
detik saja. Itulah peristiwa berpindahnya singgasana Ratu Balqis dari Kerajaan
Saba ke Kerajaan Nabi Sulaiman. Waktu itu Nabi Sulaiman bertanya kepada para
stafnya yang ketika itu memang sengaja dikumpulkan olehnya. Nabi Sulaiman
mengatakan kepada para stafnya untuk melakukan suatu kejutan terhadap Ratu
Balqis yang ketika itu sedang menuju ke kerajaan Nabi Sulaiman. Ternyata Nabi
Sulaiman ingin memindahkan singgasana Ratu Balqis ke kerajaannya. Nabi Sulaiman
bertanya kepada para stafnya siapa yang bisa melakukan hal tersebut.
Yang mengajukan diri pertama kali adalah Jin Ifrit.
Ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa memindahkannya. Dijawab oleh Jin
Ifrit bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari tempat
duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di hadapannya. Tentunya hal ini
sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman belum puas akan hal tersebut.
Kemudian Nabi Sulaiman bertanya lagi kepada para
stafnya siapa yang bisa lebih cepat melakukan hal tersebut. Yang mengajukan
diri kemudian ternyata adalah seorang manusia, yaitu manusia yang menguasai
ilmu dari al-Kitab. Orang itu kemudian ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama
ia bisa melakukannya. Dijawab oleh orang itu bahwa ia bisa melakukannya sebelum
Nabi Sulaiman berkedip lagi. Ternyata memang benar adanya, sebelum Nabi
Sulaiman berkedip, singgasana Ratu Balqis sudah berada di hadapannya. Satu
kedipan mata berarti waktunya kurang dari satu detik. Berkaitan dengan Isra’
Mi’raj, ternyata perjalanan Nabi Muhammad tersebut terjadi dalam waktu tidak
sampai satu kedipan mata pun.
Dan Isra’ Mi’raj juga fenomenal dari segi
sains. Untuk menjelaskan Isra’ Mi’raj, ternyata kita harus menggali
ilmu-ilmu mutakhir. Kalau ilmu-ilmu lama mungkin tak cukup untuk menjelaskan
peristiwa Isra’ Mi’raj. Sehingga di zaman itu orang memersepsikan bahwa Nabi
Muhammad melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan mengendarai Buraq. Buraq itu
kemudian ada yang menggambarkan bentuknya seperti kuda yang bersayap, ada juga
yang menggambarkan bahwa kepala buraq itu menyerupai manusia, bahkan ada juga
yang menggambarkan kepala buraq itu berupa wanita cantik. Pemikiran seperti ini
tentunya khas abad pertengahan, karena perjalanan tercepat ketika itu adalah
dengan mengendarai kuda. Tapi kuda pun tak bisa secepat itu. Karena itu
digambarkanlah kuda itu bersayap.
Dengan pendekatan secara saintifik dapatlah dijelaskan
bahwa sebenarnya perpindahan Rasulullah dari satu tempat ke tempat lain pada
peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi secara cahaya. Peristiwa Isra’ Mi’raj ini
tentunya kontroversial hampir 1500 tahun di kalangan agamawan maupun para
saintis karena memang sulit menjelaskannya. Selalu ada yang tidak percaya,
ragu-ragu, dan ada juga yang meyakininya sejak masa hidupnya Rasulullah hingga
kini. Yang ragu-ragu sampai sekarang tentunya masih ada, bahkan di kalangan
umat Islam sendiri. Ketika ditanya apakah perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah
ke Palestina itu dengan badannya atau bukan. Ada yang mengatakan bahwa itu
hanya penglihatan saja. Ada juga yang mengatakan bahwa itu hanya ruh saja. Ada
yang mengatakan itu hanya mimpi. Dan ada yang mengatakan bahwa peristiwa itu
memang dialami Nabi Muhammad dengan badannya.
Yang meyakini bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu dialami
Nabi Muhammad dengan badannya adalah mengacu kepada Abu Bakar Shiddiq. Ketika
itu Abu Bakar ditanya apakah dia meyakini peristiwa tersebut. Lalu ditanyakan
oleh Abu Bakar kepada yang bertanya itu siapa yang menceritakan hal tersebut.
Dijawab oleh yang bertanya kepada Abu Bakar itu bahwa yang menceritakan hal
tersebut adalah Nabi Muhammad. Dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa kalau Nabi
Muhammad yang menceritakannya, maka ia meyakininya, karena Nabi Muhammad tak pernah
berbohong.
Cara Abu Bakar memersepsi mengenai Isra’ Mi’raj ini
oleh sebagian kalangan dinyatakan bahwa beragama itu tak perlu berpikir.
Padahal jika dicermati bahwa sebenarnya ketika itu Abu Bakar berpikir dahulu,
karena ia menanyakan bahwa siapakah yang menceritakan hal tersebut. Kalau
memang Nabi Muhammad yang menceritakannya, maka ia meyakini kebenaran yang
diceritakan oleh Nabi Muhammad itu. Tapi kalau yang menceritakannya bukan Nabi
Muhammad tentunya Abu Bakar takkan langsung meyakini kebenaran cerita tersebut.
Jadi dalam beragama memang kita harus berpikir, janganlah ikut-ikutan saja.
Perintahnya sangat jelas di dalam al-Quran: Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S.
al-Isrâ’ [17]: 36)
Logika
Keputusasaan tentang Isra' mi'raj
Selama ini dalam menceritakan Isra’ Mi’raj kalau kita
sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah menghendaki, maka semuanya
bisa saja terjadi. Kita takkan mendapatkan pelajaran apa-apa dengan cara
berpikir seperti ini. Padahal peristiwa apapun yang diturunkan oleh Allah, maka
di dalamnya selalu ada pelajaran untuk kita. Allah berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (Q.S. Ali ’Imrân [3]: 190)
Kita diperintahkan untuk menjadi ulil albab, yaitu
orang yang menggunakan akalnya memahami segala peristiwa, sehingga ada
pelajaran dari setiap peristiwa tersebut.
Skenario
Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
Perjalanan Isra’ Mi’raj itu terdiri dari dua etape:
satu etape mendatar (horizontal), sedangkan satunya lagi adalah etape vertikal
ke langit ketujuh. Etape mendatarnya diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat
pertama:
Maha Suci Allah, yang telah memerjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isrâ’
[17]: 1)
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11),
setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan
menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan
kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata
tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Pertama, ayat ini dimulai dengan kata “subhânalladzî”. Kata “subhânallâh”
diajarkan kepada kita untuk diucapkan pada saat kita menemui peristiwa yang
menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan
memulai cerita itu menggunakan kata “subhânalladzî” sebenarnya Allah
menginformasikan bahwa cerita yang akan diceritakan tersebut bukanlah cerita
yang biasa, melainkan cerita tersebut adalah cerita yang luar biasa dan
menakjubkan.
Kedua, yaitu kata “asrâ”. Penggunaan kata “asrâ” memiliki beberapa makna. Yang
pertama bahwa itu adalah perjalanan berpindah tempat. Jadi penggunaan kata ini
mengcounter pemahaman ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan
tersebut Rasulullah tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada
perjalanan itu Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan
juga atas kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu dahsyat untuk bisa
dilakukan sendiri oleh Rasulullah.
Ketiga, yaitu kata “’abdihi” yang artinya adalah hamba Allah. Hamba terhadap
majikan adalah seorang yang tak berani membantah, taat, seluruh hidupnya
diabdikan untuk majikannya, untuk Tuhannya. Yang bisa mengalami perjalanan
hebat ini bukanlah manusia yang kualitasnya sembarangan, melainkan manusia yang
kualitasnya sudah mencapai tingkatan hamba Allah, yaitu manusia seperti Nabi
Muhammad. Karena itulah, kita mungkin tidak bisa menerima ketika Nabi Muhammad
digambarkan mendapat perintah salat 50 waktu, kemudian beliau menawar perintah
tersebut kepada Allah. Anjuran tawar-menawar itu datangnya dari Nabi Musa.
Digambarkan bahwa tawar-menawar itu terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad
bolak-balik menemui Allah, yang akhirnya perintah salat fardu yang diterima
Nabi Muhammad menjadi lima waktu saja sehari semalam.
Kita mungkin tak sampai hati membayangkan Nabi
Muhammad yang begitu taat kepada Allah yang tak pernah membantah kalau mendapat
wahyu dan perintah dari Allah yang dalam cerita versi ini digambarkan sampai
sembilan kali tawar-menawar dengan Allah untuk mengurangi jumlah salat fardu
yang diperintah-Nya. Digambarkan pada cerita versi ini bahwa Nabi Musa lebih
superior dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga Nabi Muhammad dipingpong oleh
Nabi Musa bolak-balik menemui Allah memohon agar jumlah salat fardu yang
diperintahkan Allah itu dikurangi. Tentunya patut pula kita ingat bahwa Nabi Musa
adalah nabinya bani Israil (sebetulnya juga nabinya umat Islam/umat Nabi
Muhammad), tetapi orang-orang bani Israil tidak mau menerima Nabi Muhammad.
Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih hebat dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga
dalam cerita versi ini Nabi Muhammad dipingpong saja. Jadi ini indikasinya
adalah hadis Israiliyat.
Keempat , yaitu kata “laylan” yang artinya adalah perjalanan malam di waktu malam.
Hal ini menunjukkan sebagai penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak
sepanjang malam, melainkan cuma sebagian kecil dari malam. Sehingga
diriwayatkan di beberapa hadis, bahwa ketika Rasulullah berangkat dari rumah
meninggalkan pembaringan, kemudian menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian
terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah kembali lagi ke
rumahnya, ternyata pembaringannya masih hangat. Hal ini menunjukkan bahwa
ketika itu beliau tidak lama meninggalkan rumahnya. Di hadis yang lain juga
diceritakan, bahwa ketika Rasulullah meninggalkan rumahnya, beliau menyenggol
tempat minumnya kemudian tumpah, dan ternyata ketika Rasulullah kembali lagi ke
rumahnya, air dari tempat minum yang disenggolnya itu masih menetes. Hal ini
menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah itu
berlangsung dalam waktu yang sebentar dan cepat.
Bayangkanlah, perjalanan semalam saja masih sulit
diterima, apalagi perjalanan yang hanya sekejap yang itu mungkin hanya beberapa
menit, atau mungkin hanya beberapa detik.
Kelima, minal masjidil harâmi ilal masjidil aqsha (dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsa). Mengapa perjalanan Rasulullah ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula
tidak dari rumahnya atau dari Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid (dari
tempat yang bukan masjid ke tempat lain yang bukan masjid juga)?
Patut diketahui, bahwa masjid adalah tempat yang
menyimpan energi positif sangat besar. Dengan kamera aura yang bisa memfoto dan
memvideokan sesuatu, jika ada orang yang sedang berzikir ataupun membaca
al-Quran, ternyata orang tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang. Berbeda
halnya dengan orang yang sedang marah, depresi, ataupun stress, maka orang
tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura ini bertingkat,
yaitu dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, sampai warna putih.
Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap aktivitas
yang kita lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita berada ketika itu.
Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam. Allah
berfirman:
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada
di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qâf: 18)
Raqib dan Atid kemudian dijadikan sebagai nama
malaikat yang mencatat amal kebaikan dan keburukan. Rekaman tersebut di ruang
tiga dimensi, dan suatu ketika akan diputar lagi. Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari
(hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu amattajam. (Q.S. Qâf: 22)
Di pengadilan akhirat itu, manusia akan bisa melihat
seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Masjid mengandung energi positif sangat besar,
terutama masjid yang sering digunakan sebagai tempat beribadah. Semakin sering,
semakin banyak, dan semakin khusyuk, maka energinya akan semakin besar. Rasulullah
berangkat dari masjid menuju ke masjid. Terminal keberangkatannya di
masjid.
Keenam, bâraknâ hawlahu (yang telah Kami berkahi sekelilingnya). Allah memberkati
sepanjang perjalanan itu, hal ini karena perjalanan itu memang membahayakan.
Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi tetap membaik.
Ketujuh, linuriyahû min âyâtinâ (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami). Dalam perjalanan isra’ mi’raj ketika itu
Rasulullah ditunjukkan berbagai peristiwa. Mengapakah bisa seperti itu,
sedangkan itu adalah waktu yang sangat singkat. Itulah yang disebut sebagai
relativitas waktu, yaitu ada perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan
tinggi dengan orang yang berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara
orang yang tidur dengan orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda.
Misalnya, ada yang tiba-tiba terlelap tidur yang itu hanya sebentar (mungkin
hanya beberapa detik), lalu yang tertidur itu dibangunkan. Yang tertidur itu
pun terbangun, lalu ia bercerita baru saja ia bermimpi. Ceritanya itu begitu
panjang, seakan-akan mimpinya itu sangat lama, padahal ia hanya tertidur
beberapa detik saja. Begitupun dengan Rasulullah, meskipun perjalanan yang
dialaminya itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau ditampakkan
berbagai macam peristiwa oleh Allah. Hal ini karena yang memberjalankan
Rasulullah adalah Allah yang tak lain adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu ditularkan kepada Nabi
Muhammad, sehingga kemampuan Rasulullah untuk melihat dan mendengar menjadi
lebih baik dari sebelumnya.
Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah
innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan
adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita
bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa?
Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa,
2006:41).
Selanjutnya mengenai Mi’raj diceritakan pada surah
an-Najm 14-18:
(14) (yaitu) di Sidratil Muntaha. (15) Di dekatnya ada
surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (18)
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang
paling besar. (Q.S. an-Najm: 14-18)
Di dekat Sidratil Muntaha, Rasulullah menyaksikan
surga. Tentunya tidak sembarangan orang yang bisa menyaksikan surga, karena
sudut padangnya harus tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia tidak
kelihatan, kalaupun kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita merasakan
kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan surga,
namun hanya sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air
dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga.
Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu adalah penderitaan neraka, namun
skalanya tak berhingga.
Lantas ke manakah Rasulullah melanglang buana?
Menyeberangi langit ataukah beliau langsung masuk ke Sidratil Muntaha yang kita
tidak tahu di mana letaknya.
Betapa besarnya langit angkasa semesta. Apakah langit?
Langit adalah seluruh ruangan alam semesta ini. Matahari dikelilingi oleh
planet-planet, bumi tempat kita tinggal adalah termasuk salah satu planet yang
mengitari matahari. Matahari yang tadinya kelihatan besar, semakin jauh kita
lihat maka semakin kecil. Ketika matahari yang kita terlihat itu semakin kecil,
maka biasanya kita tidak lagi menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya bintang.
Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh
bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya
trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk
galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada
matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari
(bintang).
Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya
membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari kita berada adalah
galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang
isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan
trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai kehabisan nama untuk
menyebut galaksi karena saking banyaknya.
Galaksi-galaksi itu ternyata bergerombol-gerombol lagi
membentuk gerombolan yang lebih besar yang dinamakan sebagai supercluster.
Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi. Apakah supercluster adalah benda
terbesar dan terjauh di alam semesta, hingga kini belum ada yang
mengetahuinya.
Jarak bumi ke matahari adalah 150 juta kilometer.
Kalau dilewati cahaya maka dibutuhkan waktu 8 menit. Jadi, kalau kita melihat
matahari terbit yang sinarnya sampai ke mata kita, maka cahaya yang sampai ke
mata kita itu sebetulnya bukanlah matahari sekarang, melainkan matahari 8 menit
yang lalu. Cahaya matahari itu berjalan selama 8 menit barulah sampai ke mata
kita. Sementara bintang kembar (Alpha Century) jaraknya dari bumi adalah 4
tahun perjalanan cahaya. Kalau kita melihat bintang kembar pada malam hari,
maka sebetulnya itu bukanlah cahaya bintang kembar saat itu, melainkan bintang
4 tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang berjarak 10 tahun
perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang berjarak 10 tahun
cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia, misalnya menggunakan
pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per jam. Apakah yang
kemudian terjadi? Ternyata dibutuhkan waktu 500 tahun untuk sampai ke bintang
tersebut.
Ternyata bumi kita ini bukanlah benda besar di alam
semesta, melainkan benda yang sangat kecil. Di belakang bintang berjarak 10
tahun cahaya ada bintang berjarak 100 tahun cahaya, di belakangnya lagi ada
yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang berjarak 1 juta tahun cahaya, dan juga
yang berjarak 1 milyar tahun cahaya. Yang terjauh diketahui oleh ilmuwan Jepang
yaitu yang berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi, bumi kita ini hanyalah
sebutir debu di padang pasir alam semesta raya.
Jadi, manusia adalah debunya bumi, bumi debunya tata
surya, tata surya debunya galaksi Bimasakti, galaksi Bimasakti debunya
supercluster, supercluster debunya langit pertama, karena langit itu ada tujuh
(sab’a samawâti). Ilmu astronomi hanya mengetahui langit itu satu, tapi al-Quran
mengatakan langit itu ada tujuh, karena menurut al-Quran bahwa langit yang kita
kenal itu yang banyak bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama).
Allah berfirman:Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan
hiasan, yaitu bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6)
Sudah sedemikian besarnya langit pertama, ternyata
langit pertama adalah debunya langit kedua, karena langit kedua itu besarnya
tak berhingga kali dibandingkan langit pertama. Langit ketiga besarnya tak
berhingga kali dibandingkan langit kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke
langit selanjutnya selalu tak berhingga kali besarnya dibandingkan langit
sebelumnya, hingga langit ketujuh tak berhingga kali dibandingkan langit
keenam, serta tak berhingga pangkat tujuh dibandingkan langit pertama.
Jadi, langit pertama adalah debunya langit kedua,
langit kedua debunya langit ketiga, seterusnya hingga langit ketujuh, dan
seluruh langit yang tujuh beserta seluruh isinya hanyalah debu atau lebih kecil
lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah cara al-Quran menggiring pemahaman
kita tentang makna Allahu Akbar. Semestinya menurut al-Quran, bahwa belajar
mengenal Allah itu adalah dari seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan
mengetahui betapa Maha Besarnya Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha
Berkuasa, Maha Berkehendak, tak cukup hanya dari lafaznya, karena kita takkan
mendapatkan rasa yang sesungguhnya.
Bayangkanlah betapa Rasulullah melakukan perjalanan
menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah berjalan ke langit ketujuh itu
apakah melintasi ruang angkasa atau tidak?
Kalaupun badan Rasulullah diubah menjadi cahaya, maka
dari bumi menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4 tahun cahaya, maka
Rasulullah membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai ke bintang Alpha Century,
untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya dibutuhkan waktu 10 tahun, untuk
menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya dibutuhkan 10 milyar tahun.
Sepertinya Rasulullah tidak melewati ruang angkasa, melainkan ada ruangan
langsung yang tidak ke sana (tidak ke ruang angkasa) tetapi memahami semua itu.
Di manakah itu?
Ternyata langit kedua terhadap langit pertama tidak
bertumpuk seperti kue lapis (dalam konteks Mi’rajnya Rasulullah). Sering kita
berpendapat dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad dan malaikat Jibril
menuju ke langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga, kemudian bertemu
langit yang digambarkan seperti langit-langit, kemudian di situ ada pintunya
dan ada penjaganya. Lalu Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ditanya mau ke mana
oleh si penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bahwa
akan bertemu dengan Allah. Kalau begitu, berarti Allah itu jauh sekali. Padahal
di dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah itu dekat, dan Nabi Muhammad
mengetahui itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S. Qâf: 16)
Bahkan dinyatakan juga di dalam al-Quran: Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Q.S. al-Baqarah [2]: 115)
Timur dan Barat milik Allah. Ke manapun kita
menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah, karena Allah sedang meliputi
kita. Dan Rasulullah tahu persis akan hal itu. Jadi untuk bertemu Allah tak
perlu ke Sidratil Muntaha. Dan memang Rasulullah ke Sidratil Muntaha bukanlah
untuk menemui Allah, karena Allah sudah meliputi Rasulullah, juga meliputi kita
semua di manaun kita berada.
Tujuan
isra’ mi’raj
Isra’ Mi’raj itu sebetulnya bertujuan membawa
Rasulullah ke satu posisi yang paling tinggi untuk memahami betapa dahsyatnya
ciptaan Allah. Untuk apakah semuanya itu? Yaitu untuk memotivasi Rasulullah.
Mengapakah demikian? Karena sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah sedang berada pada
titik terendah perjuangannya yang paling sulit, yaitu ketika dijepit oleh orang
kafir dan diembargo secara ekonomi. Di saat-saat itu justru Allah mewafatkan
paman Rasulullah (Abi Thalib) dan mewafatkan istri Rasulullah (Khadijah). Hal
ini bukannya tidak sengaja, melainkan disengaja oleh Allah, karena memang tak
ada yang kebetulan di dalam kehidupan ini.
Semuanya itu justru terjadi pada saat Rasulullah
berada pada titik nadir perjuangannya. Beliau berharap memindahkan front
syi’arnya ke luar kota (yaitu ke Tha’if). Beliau berharap disambut baik oleh
penduduk Tha’if, tapi malah yang terjadi beliau dilempari batu sampai
berdarah-darah. Maka kemudian Allah memompa kembali semangat beliau, yaitu
dengan cara Isra’ Mi’raj. “Muhammad, engkau adalah utusan Allah,” mungkin
seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui peristiwa Isra’ Mi’raj
tersebut.
Ketika Rasulullah kembali dari Isra’ Mi’raj, maka
setahun kemudian terjadilah titik balik perjuangannya, yaitu beliau bersama
pengikutnya hijrah ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota
Mekkah.
Peringatan :
- Kisah Isra' dan Mi'raj Nabi adalah benar karena yang memberitakannya adalah Al-Quran kitab suci kita.
- Kisah Mi'raj Nabi adalah benar walau tidak kasat oleh logika kita sebab dalam agama kebenaran yang dipakai adalah kebenaran wahyu bukan akal yang dieksprimen dulu, wahyu lebih tinggi dari logika.
- Kebenaran isra' dan mi'raj nabi wajib di yakini dan adapun caranya Nabi muhammad dan bagaimana atau kaifiyyat Nabi keatas langit ke 7 sampai Sidratul Muntaha tidak menjadi kewajiban mengetahuinya, yang penting percaya dan yakin didalam hati adapun cara yang ril dan sebenarnya wallahua'lam sebab banyak pendapat dalam hal ini.
- Logikanya Isra' itu benar dan logis. Jika Nabi Muhammad adalah milik Allah dan langit serta alam ini milik Allah dan dalam kondisi ini Allah yang menghendaki, apa susahnya? Sederhananya seperti ini. Jika anda punya HP lalu anda taruh di lantai dan mau anda pindahkan ke saku, ke lemari, ke atas rak buku, tidak susah bukan? Karena HP itu adalah milik anda. Coba kalau teman anda yang punya? Tidak bisa anda taruh sesuka hati anda.
Demikianlah pembahasan Mengenai Isra Miraj yang dapat
admin samapaikan pada kesempatan kali ini, Sebelumnya admin mau minta maaf bila
ada penulisaan atau tutur kata yang salah mohon maaf yang sebesar besar nya.
Semoga bermanfaat dan Tentunya dalam perjalanan isra miraj banyak sekali pelajaran
dan hikmah yang dapat kita petik. dan semoga kita makin sadar serta makin taat
kepada Alloh Swt untuk melaksanakan segala yang di perintah nya. dan Semoga
kita mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Sumber : asmaul-husna.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar