Kisah
1
Dikisahkan,
bahwa suatu hari para sahabat sedang berkumpul di masjid. Lalu terciumlah bau
kentut diantara mereka, sehingga membuat para sahabat tidak tahan dengan bau
tersebut, salah seorang dari mereka berdiri dan berkata, “Barangsiapa yang
kentut, silakan bangun”. Hening, tak seorang pun berdiri.
Ketika
datang waktu Isya mereka berkata, “Orang yang kentut pasti akan berwudhu
setelah ini. Orang itulah yang kentut”.
Setelah
itu, para sahabat menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang keluar. Masih
seperti tadi, tak seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya, mungkin malu.
Lalu
Bilal bangun untuk mengumandangkan adzan. Kemudian Nabi Muhammad berkata:
“Tunggu dulu, aku belum batal, tapi aku hendak berwudhu lagi.”
Lalu
para sahabat pun ikut berwudhu dan tidak diketahui siapa yang kentut waktu itu.
Kisah
2
Usai
shalat ashar di masjid Quba, seorang sahabat mengundang Nabi beserta jamaah
untuk menikmati hidangan daging unta di rumahnya. Ketika sedang makan, ada
tercium aroma tidak sedap.
Rupanya
diantara yang hadir ada yang buang angin. Para sahabat saling menoleh. Wajah
Nabi sedikit berubah tanda tidak nyaman.
Maka
tatkala waktu shalat maghrib hampir masuk, sebelum bubar, Rasulullah berkata:
"Barangsiapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu!".
Mendengar
perintah Nabi tersebut maka seluruh jamaah mengambil air wudhu. Dan
terhindarlah aib orang yang buang angin tadi.
Subhanallah.
Sungguh, dalam diri Nabi terdapat teladan yang baik bagi kita semua.
Kisah
3
Kisah
tentang menjaga perasaan saudara seiman pun juga terjadi pada seorang ulama,
yaitu Syaikh Abdurrahman Hatim bin Alwan. Beliau merupakan salah satu ulama
besar di Khurasan pada zamannya. Dikenal dengan Hatim Al A’sham, yang artinya
Hatim si tuli.
Suatu
ketika ada seorang wanita yang datang menemui beliau. Namun, tanpa sengaja ia
kentut dengan suara yang cukup keras. Wanita itu salah tingkah, menahan malu.
Lalu syaikh ini pura-pura tuli, dan meminta si wanita mengulangi pertanyaannya.
Dengan
sikap sang syaikh, wanita itu pun merasa sedikit lega. Ia mengira sang syaikh
benar-benar tuli. Lalu mereka berbicara dengan saling meninggikan suara.
Wanita
itu hidup selama lima belas tahun setelah kejadian tersebut. Selama itu pula
Syaikh Hatim pura-pura tuli. Hingga wanita itu meninggal, ia tak pernah tahu
kepura-puraan beliau.
============
Ketiga
kisah di atas menceritakan bagaimana seharusnya seorang muslim menjaga
kehormatan saudaranya. Bukan malah menertawakannya atau menyebarkan aibnya.
Abu
Hurairah berkata, Nabi bersabda :
وَمَنْ
سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ
مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.
“...
siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan tutupi aibnya di dunia dan
akhirat. Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar