Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: jika dia berbicara dia dusta,
jika dia berjanji maka dia mengingkarinya dan jika dia dipercaya maka dia
berkhianat.
Islam adalah agama yang mulia. Islam mengajarkan
kepada seluruh pengikutnya untuk selalu jujur dalam setiap keadaannya. Islam
juga mengharamkan sifat dusta dan mencela perbuatan dusta. Oleh karena itu, di
dalam banyak ayat dan juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Allah dan Rasul-Nya menjelaskan keharaman dusta.
Di antara dalil yang menunjukkan buruknya sifat dusta
dan mulianya sifat jujur adalah firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian
kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur (benar)!”
(QS At-Taubah: 119)
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى
الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ
الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى
الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran
akan mengantarkan kepada kebajikan (ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan
mengantarkan kepada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu
berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang
shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya
kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu
akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu
berusaha untuk berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang
kadzdzaab (suka berdusta).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengatakan:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ،
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: jika dia
berbicara dia dusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya dan jika dia
dipercaya maka dia berkhianat.”
Keutamaan orang yang memiliki sifat jujur
Orang yang memiliki sifat jujur akan mendapatkan
banyak keutamaan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Dia akan mendapatkan ketenangan di dalam hatinya. Orang yang selalu jujur akan mendapatkan ketenangan di
dalam hatinya. Dia akan merasa nyaman dengan kejujuran yang telah dia lakukan.
Berbeda halnya dengan orang yang suka berdusta. Hidup mereka tidak akan tenang dan
penuh dengan kebimbangan.
Orang yang sudah terbiasa berbohong, maka untuk
membenarkan kebohongannya dia akan selalu berbohong, sehingga hidupnya dipenuhi
dengan kebohongan. Orang yang seperti ini tidak akan bahagia di dunia dan di
akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ، فَإِنَّ
الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ.
“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan
mengerjakan apa-apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah
ketenangan dan sesungguhnya kedustaan (akan mengantarkan kepada) keragu-raguan
atau kebingungan.”
Dia akan mendapatkan keberkahan dalam jual belinya
Seorang yang jujur di dalam kesehariannya dengan orang
lain, maka akan mendapatkan keberkahan di dalam hidupnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا
وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyaar (pilih)
selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan,
maka mereka akan diberkahi di dalam jual beli mereka. Apabila mereka berdusta
dan saling menyembunyikan (cacat) maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli
mereka.”
Hadits ini menunjukkan bahwa keberkahan di dalam jual
beli bisa didapatkan dengan kejujuran. Dia akan mendapatkan kesyahidan jika dia memintanya dengan jujur
Menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid adalah cita-cita
setiap mukmin yang sempurna keimanannya. Keutamaan orang yang mati dalam
keadaan syahid sangat banyak dan sangat besar. Dalil-dalil yang membahas
tentang keutamaan mati dalam keadaan syahid disebutkan di dalam Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada saat sekarang ini, sangat susah untuk bisa
menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid di medan pertempuran, karena
syarat untuk berhijad sangatlah banyak dan tidak sembarangan. Akan tetapi,
Allah subhanahu wa ta’ala tetap memberikan keutamaan jihad untuk
orang-orang yang menginginkan mati dalam keadaan syahid, jika orang tersebut
memiliki niat yang ikhlas dan jujur dari hatinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ
اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Barang siapa yang meminta kepada Allah untuk
dimatikan dalam keadaan syahid dengan jujur, maka Allah akan menjadikannya
berkedudukan seperti orang-orang yang mati syahid walaupun dia mati di atas
kasurnya.”
Surga dan orang-orang yang jujur
Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan surga
atas kejujuran seseorang selama hidup di dunia. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ
صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“Allah berkata: Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka. Bagi mereka surga yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai, Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah rida terhadap mereka dan mereka rida terhadap Allah. Itulah keberuntungan
yang paling besar“. (QS Al-Maidah: 119)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ
الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul,
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah berikan kenikmatan
kepada mereka dari kalangan nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang
sangat jujur), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)
Wajibnya menjaga amanah
Di antara bentuk kejujuran pada diri seseorang adalah
bisa menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ
لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.
“Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak
beramanah. Dan tidak ada agama bagi orang yang tidak mememenuhi perjanjian.”
Orang yang diberikan amanah harus benar-benar
menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.
Cara melatih kejujuran
Untuk mencapai derajat ash-shiddiq (orang yang
sangat jujur) tidaklah mudah. Seseorang harus terus melatih dan mempraktikkan
kejujuran dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Jika kita perhatikan, sifat
dusta kebanyakan muncul karena kecintaan seseorang terhadap dunia. Untuk
mendapatkan dunia banyak orang yang berdusta dan melupakan akhiratnya.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah
mengatakan:
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الصَّادِقِيْنَ،
فَعَلَيْكَ بِالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا، وَالكَفُّ عَنْ أَهْلِ المِلَّةِ.
“Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur,
maka engkau wajib berzuhud terhadap dunia dan menahan diri dari (mengikuti)
orang kafir.”
Dusta yang diperbolehkan
Hukum asal dari dusta adalah haram. Seseorang tidak
boleh melakukannya dalam keadaan apapun. Akan tetapi, ada beberapa tempat,
dimana seorang muslim boleh berdusta, karena berdusta pada saat itu, memiliki
maslahat (kebaikan) yang sangat besar dalam kehidupan seorang muslim. Dusta
yang diperbolehkan hanya terdapat pada tiga tempat, sebagaimana yang disabdakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ
النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلاَ يُرِيدُ بِهِ إِلاَّ الإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ
يَقُولُ فِى الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ
زَوْجَهَا
“Saya tidak menganggap berdusta seorang yang
mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah
menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan
seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang
wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya)“
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
رَخَّصَ –النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–
مِنَ الْكَذِبِ فِي ثَلاَثٍ : فِي الْحَرْبِ، وَفِي الإِصْلاَحِ بَيْنَ النَّاسِ،
وَقَوْلِ الرَّجُلِ لاِمْرَأَتِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu: ketika berperang, ketika
mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya”
Para ulama
berbeda pendapat dalam memahami hadits di atas, apakah dusta pada ketiga hal
ini diperbolehkan secara mutlak, ataukah tetap tidak diperbolehkan, yang
diperbolehkan hanyalah tauriyah. Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang
mengatakan suatu perkataan, tetapi perkataan tersebut bisa dipahami berbeda
oleh orang-orang yang mendengarkannya, sedangkan orang yang mengatakannya
menginginkan makna yang lain dari perkataannya, sehingga dia tidak bisa
dikatakan berdusta.
Contoh dari tauriyah adalah sebagai berikut:
Ada orang zalim yang mencari dan mengejar seseorang
untuk membunuhnya, kemudian orang yang dikejar berlari dan melewati seorang
yang sedang duduk. Kemudian orang zalim tersebut bertanya kepada orang yang
duduk tadi, “Apakah kamu melihat orang yang berlari?” Orang yang duduk tadi pun
mengatakan sambil berdiri, “Semenjak saya berdiri di sini, saya tidak melihat
seorang pun lewat di depan saya.”
Orang yang duduk tadi melakukan tauriyah, yang dia
maksudkan adalah semenjak berdiri dia tidak melihat seorang pun, tetapi ketika
dia duduk dia melihatnya. Sedangkan yang dipahami oleh orang yang bertanya
adalah dari tadi orang tersebut tidak melihat orang yang dicarinya.
Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan fiqh
kedua hadits tersebut di dalam kitab beliau ‘Ash-Shahiihah’, “Tidak
samar bagi orang yang memiliki pandangan bahwasanya pendapat kelompok pertama
(yang membolehkan berdusta secara mutlak pada tiga hal tersebut) adalah pendapat
yang lebih kuat dan lebih layak karena sesuai dengan zahir dari hadits-hadits.
Adapun penafsiran kelompok kedua yang membawa kedustaan pada hadits tersebut
kepada tauriyah maka tidaklah samar bahwa hal tersebut sangat jauh (dari
kebenaran), terutama berdusta ketika berperang. Sesungguhnya berdusta ketika
perang lebih membutuhkan dalil untuk dibolehkan. Oleh karena itu, Al-Hafidzh
(Ibnu Hajar Al-‘Asqalanaani) mengatakan di dalam kitabnya ‘Al-Fath’
(VI/119), “An-Nawawi mengatakan, ‘pendapat yang tampak benar adalah bolehnya
berdusta pada ketiga hal tersebut. Akan tetapi, menggunakan bahasa kiasan (tauriyah)
itu lebih utama.”
Begitu indahnya agama Islam, dia mengajarkan kepada
pemeluknya untuk selalu berlaku jujur dan hanya boleh berdusta pada keadaan-keadaan
tertentu saja sebagaimana telah disebutkan di atas. Berbeda dengan beberapa
kelompok sesat yang mengatasnamakan diri mereka Islam, sebagian mereka
memperbolehkan dan menghalalkan berdusta, seperti yang dilakukan oleh
pengikut-pengikut Syi’ah.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat.
Mudah-mudahan Allah subhaanahu wa ta’aalaa mencatat kita sebagai
orang-orang yang jujur dan memberikan kesempatan kita untuk bisa menjadi orang
yang ash-shiddiiq sebelum kita wafat. Aamiin.
Sumber : muslim.or.id

Tidak ada komentar:
Posting Komentar