 
 
Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku
cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau
cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang
engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap
beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh
manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari
[I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang
menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak
dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang
muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan
kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya
setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri,
orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah
orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah
dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan
paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan
lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam
sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia
masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu
ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk
Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah
posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya,
kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid
menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang
berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku
bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku
mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat
Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu
Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail
an-Nubuwwah [III/326]).
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
“Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di
antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh,
hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah
seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan
dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah
tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah
peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”,
tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab
orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di
depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku
tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!”
(Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia
berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya
Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain
adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah
[II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Pahala Bagi Orang yang
Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu
ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan
ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat,
“Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa
yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai
Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa
yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau
akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia
daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama
orang yang engkau cintai.'” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa
bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku
sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam
Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi
dalam Sunan-nya [2385])
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??
Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang
amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu:
bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib
al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus
direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini
banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka
telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah
mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah
merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat
dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang
kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
- Golongan yang berlebih-lebihan.
- Golongan yang meremehkan.
- Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna
cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa
menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan
rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun
meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam
mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana
yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia
adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para
tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no:
2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, antara lain:
a.   
Meyakini
bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah
subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak
berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap
ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar
as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b.   
Menaati
perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
c.   
Membenarkan
berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah
terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang
datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS.
An-Najm: 3-4)
d.   
Beribadah
kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang
siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka
amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no
1718).
e.   
Meyakini
bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi
keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah,
serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah menaati Allah.” (QS.
An-Nisa: 80)
f.     
Membela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan
membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan
mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga
menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.
g.   
Mendahulukan
cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami
oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk
bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau
melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya.
Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah
yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia
persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya:
ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini
bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya.
Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah
kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani
berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah
hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no:
3445])
h.   
Termasuk
tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan
keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi
Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa
Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq
an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr.
Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk
memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi
sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa,
[2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala
Ummatihi [I/359-361]).
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya
dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo
tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu
untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil
Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang
harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi
saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak
kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam
Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla
dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus
“bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih
Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung
perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan
agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban
1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka
ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama
Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya
Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur
kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang
berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama
sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih
yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa
amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam
mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga
menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu
wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah
al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ
عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ
عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika
datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan
sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid
al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon
perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah??
(Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan
akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana
atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh
mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu
wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral
diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa
berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi
Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan
ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan
serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah
orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau
atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?
Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan
kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus
dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid,
madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang
yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu
di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya
setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali
(idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta
kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu
bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang
hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala
kekurangan.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin
wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
***
Baca artikel lengkapnya di www.muslim.or.id
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar